Kebudayaan Kepulauan
Nias
Nama :
Shafira Andita Sari Sunarwianto
NPM : 3A414188
Kelas : 1ID13
Latar belakang
Budaya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.Seseorang yang merupakan penduduk Indonesia pasti masuk ke dalam suku tertentu. Suku yang terdapat di Indonesia sangat beragam, berjumlah ribuan.
Pulau Nias berpenduduk 701.800 Jiwa dengan kepadatan 131,9 2
dikenal di
dunia luar baik dalam negri maupun luar negri sebagai suatu pulau yang menarik. Pulau
Nias memiliki berbagai potensi yang menarik baik dari sumber daya alamnya (potensi
alamnya), kependudukannya, kehidupan sosialnya, dan juga sejarah dan adat istiadatnya
serta kebudayaanya.
SEJARAH SUKU NIAS
Penelitian
Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang
dimuat di media masa menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak
12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa
paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry
Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada
masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di
Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia
di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Pulau Nias berada di lingkaran terluar wilayah negara
Republik Indonesia merupakan salah satu pulau dengan peradaban tertua di
Indonesia yang dibuktikan dengan situs megalitik dan peninggalan bersejarah
yang tersisa dari kehidupan nenek moyang orang Nias di masa lampau, dimana para
sejarahwan dan arkeolog menyebutkan bahwa kebudayaan Nias merupakan kebudayaan
megalitik yang tinggal sedikit bertahan hingga saat ini. Keunikan yang terlihat
dari peninggalan budaya yang diwarisi oleh Ono Niha (sebutan untuk orang Nias) adalah
bahwa ciri khas budaya, bahasa dan rasnya yang sangat jauh berbeda dengan
suku-suku lainnya yang terdapat di Indonesia.
Nias terkenal karena ragam atraksi dan perayaannya.
Atraksi yang paling terkenal adalah Tari Baluse (Tari Perang) dan Hombo Batu (Lompat
Batu) yang sering diperagakan dalam menyambut para wisatawan, dimanaHombo Batu merupakan sebuah ritual penanda
kedewasaan di zaman dulu yang melibatkan para pemuda yang harus melompati batu
setinggi 210 cm yang bagian atasnya ditutupi dengan paku dan bambu runcing yang
sudah ditajamkan (sekarang bagian atasnya tidak memakai paku dan bambu runcing
karena berbahaya). Tujuan lainnya dari Hombo Batu ini adalah sebagai ajang
latihan dan persiapan bagi para pemuda untuk melompati tembok pertahanan musuh
ketika berperang (dahulu perang antar öri/kampung sering terjadi).
Perkembangan Nilai Kebudayaan Nias Zaman Sekarang
nilai budaya Nias (yang dimiliki oleh suku Nias) dalam
komunitas masyarakat Nias sudah mengalami banyak perubahan akibat pengaruh budaya
dari luar (luar komunitas) yang masuk dan bercampur dengan budaya asli dan juga akibat
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat yang mengubah
pola pikir dan cara hidup manusia. Akhirnya lama-kelamaan budaya daerah (asli) bisa
hilang dan punah. Hal ini bisa dilihat dari makin sedikitnya masyarakat Nias (khususnya
suku Nias) yang mengerti budaya aslinya yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang tinggi dan merupakan peninggalan dari nenek moyang masyarakat Nias. Demikian juga
kalau dilihat kaum muda Nias, banyak yang sudah tidak mengerti adat istiadat dan juga
kesenian tradisional nias, seperti tari-tarian daerah, musik tradisional dan juga seni-seni
lainnya seperti memahat dan sebagainya.
Nilai Sejarah Kepulauan Nias yang Masih Ada
TARI PERANG (FOLUAYA)
Tari Perang
atau Foluaya merupakan lambang kesatria para pemuda di desa – desa di Nias,
untuk melindungi desa dari ancaman musuh, yang diawali dengan Fana’a atau dalam
bahasa Indonesia disebut dengan ronda atau siskamling. Pada saat ronda itu jika
ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka seluruh prajurit
berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh itu
dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja, hal ini sudah tidak dilakukan lagi
karna sudah tidak ada lagi perang suku di Nias. Persembahan ini disebut juga
dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada
raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aehohoi”yang
berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak
dan menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman, sambil
membentuk tarian Fadohilia lalu menyerahkan binu itu kepada raja. Setelah itu,
raja menyambut para pasukan perang itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan
pesta besar-besaran. Lalu, raja menyerahkan Rai, yang dalam bahasa Indonesia
seperti mahkota kepada prajurit itu. Rai dalam suku Nias adalah merupakan tanda
jasa kepada panglima perang. Tidak hanya Rai yang diberikan, emas beku juga
diberikan kepada prajurit-prajurit lain yang juga telah ikut ambil bagian dalam
membunuh musuh tadi. Kemudian, raja memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu
Bagaheni”, dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan dengan melompat-lompat
lengkap dengan senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua
orang prajurit yang saling berhadap-hadapan. Seiring berkembangnya Zaman
Tradisi ini dilakukan hanya pada hari hari tertentu atau untuk merayakan acara
acara tertentu.
LOMPAT BATU (HOMBO BATU)
Budaya Megalitik yang masih asli di Nias sesuai namanya Megalitik atau
batu besar, di Nias masih banyak Batu Batu besar di Desa desa di Nias. Batu –
batu besar ini di gunakan oleh masyarakat setempat untuk melakukan tradisi
Lompat Batu atau Hombo Batu. Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak jaman
para leluhur ,di mana pada jaman dahulu mereka sering berperang antar suku
sehingga mereka melatih diri mereka agar kuat dan mampu menembus benteng lawan
yang konon cukup tinggi untuk dilompati. Seiring berkembangnya jaman, tradisi ini
turut berubah fungsinya. Karena jaman sekarang mereka sudah tidak berperang
lagi maka tradisi lompat batu digunakan bukan untuk perang lagi melainkan untuk
ritual dan juga sebagai simbol budaya orang Nias. Tradisi tersebut diadakan
untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki di Nias sekaligus ajang
menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa.
Tradisi lompat batu dilakukan pemuda Nias untuk membuktikan kalau mereka
diperbolehkan untuk menikah. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip
tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 meter
dengan lebar 90 centimeter dan panjang 60 centimeter. Para pelompat melompati
Batu besar itu melalui pijakan batu kecil sebelum melompati batu peninggalan
masa lalu tersebut. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan
batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tehnik seperti saat mendarat, karena
jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan akibat yang fatal
seperti cedera otot atau patah tulang. Banyak pemuda yang bersemangat untuk
dapat melompati batu besar ini.
TARI BURUNG(TARI MOYO)
Tari Moyo atau disebut juga dengan tari Elang yang terus
mengepakkan sayapnya dengan lembut tanpa mengenal lelah, menaklukkan sesuatu yang
bermakna bagis esamanya dan dirinya sendiri. Tarian ini melambangkan keuletan
dan semangat secara bersama dalam mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan. Tari
Moyo ini kadang dilaksanakan setelah atau sebelum acara atau perayaan –
perayaan atas hari tertentu, bahkan untuk menyambut tamu di Nias sendiri.
Keunikan
Kebudayaan Nias
Li Niha;
Atau Bahasa Nias.
Bahasa
Nias atau disebut Li Niha. Meskipun bahasa Nias masih belum
diketahui persis asal-usulnya, namun keunikan pada bahasa ini disetiap akhir
kalimat atau kata, memiliki akhiran huruf vokal atau huruf hidup. Bahasa Nias
mengenal enam huruf vokal, yaitu a,i,u,e,o, ditambah dengan huruf ö (baca: “e”nam).
Bangunan Rumah Adat Nias
Omo Sebua adalah
jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatra Utara. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk
kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi.
Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan
pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses masuk ke rumah
hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang
sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung
dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap
goncangan gempa bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar